KETIKKABAR.com – Kabar baik datang dari Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan, yang mengonfirmasi bahwa Presiden Prabowo Subianto akan menunda kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% tahun depan.
Pemerintah akan memberikan kebijakan stimulus, seperti subsidi listrik nontunai, untuk membantu ekonomi masyarakat.
“Jadi, ya hampir pasti diundur, biar dulu jalan tadi yang ini (subsidi listrik),” ucap Luhut usai mencoblos hak suara di TPS 4, Jakarta Selatan di TPS 4, Peilkada 2024 dikutip dari CNBC Indonesia pada Kamis (28/11/2024).
Menurut Luhut, stimulus ini penting untuk menjaga ekonomi masyarakat yang sulit, agar tidak jatuh ke dalam kemiskinan.
“Jadi, sebelum itu jadi, harus diberikan dulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya susah, mungkin lagi dihitung dua bulan, tiga bulan, supaya jangan jatoh,” kata Luhut.
Sebagaimana diketahui, Kenaikan PPN ini sesuai dengan Undang-Undang HPP yang disahkan pada Oktober 2021, yang mengharuskan PPN naik dari 11% menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.
Rencana Kenaikan PPN ini mengalami penolakan dari ekonom dan pengusaha, yang dikhawatirkan kenaikan ini akan memperburuk daya beli masyarakat pasca-pandemi covid19.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan bahwa Presiden memiliki wewenang untuk menunda PPN tersebut tanpa mengubah Undang-Undang HPP.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie O.F.P menekankan bahwa pemerintah dapat mengubah tarif PPN melalui Peraturan Pemerintah.
“Undang-undang pajaknya enggak perlu diubah. Karena di undang-undang itu sudah memberikan amanat ke pemerintah. Kalau mau turunin tarif boleh, tapi minta persetujuan DPR,” ucap Dolfie.
Dia pun mengatakan ketentuan mengenai penundaan tanpa merombak UU itu tercantum dalam Pasal 7 UU HPP. Dalam Pasal 7 Ayat 3, disebutkan pemerintah bahkan boleh mengubah ketentuan PPN menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen melalui Peraturan Pemerintah.
Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) juga mengingatkan bahwa kenaikan PPN dapat menaikkan harga produk dan melemahkan daya beli masyarakat.
“Ujungnya akan terjadi kenaikan harga jasa/produk, yang melemahkan daya beli masyarakat, sehingga utilitas penjualan tidak optimal. Terlebih pada produk pangan yang sangat sensitif terhadap harga, masyarakat akan mengerem konsumsinya. Hal ini akan memperlambat laju konsumsi rumah tangga,” kata Adhi dalam keterangan resmi diterima CNBC Indonesia, Senin (25/11/2024).
Padahal, imbuh dia, konsumsi rumah tangga adalah penopang pertumbuhan ekonomi RI dengan berkontribusi sebesar 53,08% terhadap PDB nasional. Dan, ujarnya, saat ini sedang menunjukkan tren pelemahan.
GAPMMI berharap pemerintah akan memilih langkah lain untuk meningkatkan penerimaan negara.